Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengakui mayoritas siswa SMA/SMK/SMA-LB
cemas menghadapi ujian nasional (UN). Pasalnya mereka merasa ditantang,
mendapat tekanan, dan tuntutan berupa ujian.
“Secara
diam-diam, kami melakukan survei terhadap 15 persen siswa SMA peserta UN 2012
dan hasilnya adalah 22,4 persen sangat cemas, 56,0 persen cemas, dan 21,6
persen biasa,” kata Mendikbud.
Ditambahkan,
beliau menjelaskan hasil itu berkaitan dengan item tentang dorongan belajar
yakni 43,7 persen menyatakan UN sangat mendorong belajar, 35,4 persen menyatakan
UN mendorong belajar, dan 20,9 persen menyatakan UN tidak mendorong belajar.
"Jadi, tingginya kecemasan itu
justru positif, karena kecemasan itulah yang mendorong tingginya pandangan
bahwa UN sangat mendorong belajar. Kalau UN mendorong mereka untuk belajar
justru UN berhasil, karena UN memang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas
belajar siswa," katanya.
Pemerintah memang
mengklaim bahwa dengan sistem UN seperti saat ini, para siswa menjadi
lebih rajin belajar. Pada satu sisi, pernyataan pemerintah ini benar.
Sebagian dari siswa menjadi lebih rajin dalam belajar atau mungkin
‘belajar’? Mengapa ‘belajar’? Ini diakibatkan belajar dipersempit maknanya
hanya dengan membahas soal-soal. Padahal belajar lebih dari itu. Belajar
merupakan proses panjang yang diakhiri dengan evaluasi dan bukan hanya
mempelajari soal-soal ujian. Ada satu hal lagi yang yang dilupakan oleh
pemerintah adalah bahwa tidak semua siswa menjadi lebih rajin
dalam persiapan menghadapi UN.
Pemerintah
mungkin lupa akan adanya kecerdasan majemuk dan sifat para siswa yang memang
sangat beragam. Menurut psikolog, setiap siswa memerlukan perlakuan
yang berbeda termasuk dalam hal cara belajar. Ada siswa
yang ’diancam’ akan lebih giat dan rajin belajar, tetapi tidak
semua menjadi lebih rajin hanya dengan ancaman. Ada yang perlu penyadaran agar
lebih rajin. Singkat kata, tidak mungkin membuat siswa-siswi kita yang
jumlahnya ribuan tersebut dengan satu sistem dan metode saja walaupun metode
tersebut nampaknya berhasil. Oleh karena itu, pemerintah harusnya lebih
instrospektif dan melihat dampak negatifnya yang sudah banyak terbukti, bukan
hanya mempertahankan argumen manfaatnya semata.
Persoalannya
sekarang, apakah siswa giat belajar sekadar karena takut gagal ujian, atau
karena secara sadar ingin berkembang secara intelektual? Apakah guru giat
mengajar karena khawatir banyak siswanya tidak lulus ujian, sehingga mengancam
reputasi karier dan sekolahnya, atau karena secara sadar ingin mengoptimalkan
potensi intelektual siswa-siswanya? Hasil Temuan beberapa pakar pendidikan menegaskan
bahwa ujian yang distandardkan hanya menghasilkan siswa dan guru paranoid yang
takut dan cemas menghadapi ujian. Ujian yang distandardkan menghasilkan siswa
yang giat belajar atau guru yang giat mengajar semata-mata demi nilai. (MubRi/21/04)
Posting Komentar